Arsip | 03.30

GURU BUKAN ROBBIN HOOD

16 Feb

Ada hal yang menggelisahkan dan cenderung berlebihan dalam mengidealkan peranan guru hari ini yang justru semakin mereduksi posisi guru. Profesi guru dianggap sakral dan menjadi tumpuan segalanya. Sebut saja bila terjadi kebobrokan di dalam masyarakat, atau terjadi  penurunan mutu pendidikan, sasaran utamanya adalah guru. Guru menjadi satu-satunya rujukan sumber segala persoalan, tidak saja di dunia pendidikan, di masyarakatpun guru dianggap memiliki andil besar. Tatkala nilai-nilai moral telah tergerus roda jaman, meningkatnya budaya kekerasan, menggunungnya pengangguran, rendahnya sumber daya manusia, itu semua merupakan cerminan kegagalan pendidikan dengan guru sebagai garda terdepannya.

Sebagian masyarakat kita, menempatkan status guru seperti “Robin Hood”. Siapapun mereka yang menjadi guru, bersiap-siaplah menjadi manusia super “Robin Hood” yang bisa mengatasi segala persoalan, serba bisa melakukan apa saja, tahan sakit, tidak mengeluh, mampu bekerja dua puluh empat jam mengerjakan berbagai macam tugas demi tuntutan pembaharuan, baik itu dalam lingkungan sekolah, maupun dalam lingkungan masyarakat. Bahkan tidak sedikit dari kita, meminjam kata-kata bang Iwan Fals menganggap para guru adalah manusia setengah dewa. Oleh karena itu, menjadi manusia biasa yang kadang malas. marah, sakit, loyo dan bahkan bersalahpun seakan tidak boleh dimiliki oleh guru. 

Menurut penulis justru meyakini gurulah yang sesungguhnya menjadi kendala terbesar bagi perubahan dan perbaikan dunia pendidikan dewasa ini. Jangangkan mencari solusi atas segala masalah, guru itu sendiri saja tidak terpisahkan dari permasalahan. Sulit rasanya berharap pembaharuan dalam dunia pendidikan melalui kinerja guru, seperti mencari jarum dalam jerami, sebab guru sendiri adalah bagian dari permasalahan itu. Permasalahan yang membelenggu guru inilah yang pertama harus dicari langkah-langkah solusi sebelum memistifikasi guru sebagai agen perubahan.

Salah satu langkah yang bisa dijadikan pijakan awal adalah berangkat dari permasalahan yang paling mendasar, yaitu paradigma baru yang sejalan dengan tuntutan situasi dan kondisi yang berkembang saat ini. Yang menjadi pertanyaan adalah, adakah political will pemerintah serta komitmen dari bangsa ini untuk memposisikan guru dan pendidikan sebagai “The main base”. Guru perlu diposisikan sebagai aset dalam pembangunan bangsa. Bila tidak ada, maka sampai kapanpun diskusi akan terus berlanjut tanpa goal yang jelas dan tanpa solusi secara tuntas.

Bukanlah rahasia, bila hari ini pendidikan sebagai infrastruktur pengembangan SDM tidak menempati skala prioritas dalam berbangsa dan bernegara. Manajemen pendidikan seharusnya berjalan diatas rel pendidikan fungsioanal dan bukan struktural, kultur profesional dan bukan kultur kekuasaan Dalam fakta di lapangan, justru yang dikembangkan adalah manajemen pendidikan yang berlandaskan paradigma birokratis, kadang juga berkiblat pada paradigma ekonomis, yang lebih mengenaskan adalah paradigma politik, dimana partai berkuasa ikut andil mewarnai wajah pendidikan. Padahal sebagai unsur pendidikan, guru haruslah memiliki otonomi pedagogis untuk melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Akan tetapi yang kita ketemukan dilapangan guru diperlakukan sebagai bawahan yang harus tunduk terhadap berbagai peraturan administratif yang nekoh-nekoh dan kaku. Para birokrat pendidikan dengan kekuasaan struktural di tangannya mengatur secara arogan tanpa memahami hakekat tugas dan pekerjaan guru.

Berangkat dari menggunungnya permasalahan diatas, yang harus menjadi objek perubahan adalah guru itu sendiri. Perubahan hendaknya dimulai dari level individual, yaitu persepsi dan pemahaman guru terhadap tugasnya sebagai pelaku perubahan. Output yang didapat adalah perubahan cara pandang, pikir, konsepsi, dan nilai-nilai yang diyakini tentang kinerja guru sebagai pelaku perubahan. Untuk itu, guru sebaiknya juga mengelolah dan berani mengkritisi asumsi-asumsi yang mereka yakini selama ini, entah itu secara eksplisit atau implisit tentang kinerja mereka. Setelah itu mengkritisi segala asumsi yang mereka miliki selama ini tentang kinerja professionalnya, ia pun harus mulai berani mengubah praksis pedagogis yang selama ini dijalankan agar konsisten dengan visi baru yang ingin dihayati oleh guru sebagai pelaku perubahan. Selanjutnya sasaran utama setelah melewati pembaharuan konseptual adalah perubahan praksis pedagogis Dengan demikian guru sebagai agent of change akan tercapai. Semoga.Gambar